- Pimpinan OPD di Lingkungan Pemkot Palembang Ikuti Seminar Core Values ASN Berakhlak
- PEMERINTAH KOTA PALEMBANG DUKUNG PENUH FESTIVAL KESENIAN ISLAM (FKI) KATEGORI NASYID DI HARI KETIGA
- PEMERINTAH KOTA PALEMBANG GELAR RAPAT TECHNICAL MEETING FKI UNTUK PENINGKATAN SENI KEISLAMAN
- PEMERINTAH KOTA PALEMBANG AKTIF DALAM ACARA SUNATAN MASSAL BERSAMA JARINGAN SANTRI INDONESIA DI MASJ
- PEMERINTAH KOTA PALEMBANG RESPON POSITIF PEMBUKAAN FASILITASI PENGUATAN PENANGGULANGAN PROGRAM HIV/A
- Jumat Berbagi bersama Fitrianti Agustinda
- PEMERINTAH KOTA PALEMBANG BERSINERGI HADIRI PENYERAHAN PLAT RUMAH PROGRAM KOLABORASI BAZNAS
- KEUTAMAAN SURAT-SURAT DALAM AL-QURAN: TUNTUNAN DARI DALIL-DALIL AL-QURAN
- MENYINGKAP BAHAYA TIDAK MEMBACA AL-QURAN DAN MEMAHAMI MAKNANYA
- MENINGGALKAN SHOLAT SUBUH: BAHAYA DAN DAMPAK NEGATIF
Konten Viral Di Media Sosial Menjadi Ajang Komodifikasi Kemiskinan ?

Awal
tahun ini sebuah berita kejutan harus kita terima, mengharukan bagi satu pihak
meski barangkali dapat membahagiakan di pihak lain. Berita di mana sepertiga
dari kita menjadi pelaku, sepertiga menjadi korban, dan sepertiganya lagi
adalah penonton. Seluruh masyarakat negeri sepertinya menyimak konten sadis
yang sedang viral karena melibatkan aksi ekstrem lansia guyur air, orang paruh
baya mandi lumpur, makan lumpur dan ide abnormal sejenisnya.
1.
Transaksi Bullying
Beberapa
kanal media sosial bukan hanya TikTok, telah digunakan oleh beberapa pihak
untuk konten-konten abnormal yang sifatnya jual-beli (transaksi). Sebagaimana
yang disampaikan Muhammad Heychael seorang peneliti media dari Universitas
Multimedia Nusantara yang menyebut bahwa konten seperti itu hakikatnya adalah
bullying yang ditransaksikan.
Baca Lainnya :
- Laku Perbuatan Manusia Di Era Digital Yang Mencakup Ilmu Dan Hikmah0
- Amalan Sukses Dunia Akhirat0
- Doa Rasulullah Ketika Mati Lampu 0
- Memaknai Berkah di Bulan Rajab0
- Amalan Menempati Rumah Baru0
Sebuah
aksi bully yang seolah murni sebagai hiburan, padahal faktanya ada pihak yang
memberikan gift (hadiah) di TikTok hanya untuk menyaksikan orang lain
menderita. Penderitaan yang ia saksikan di layar gadget itu menjadi sebuah
kepuasan akan hiburan. Mereka telah membayar sehingga menguasai melalui gift
yang diberikan. Terhibur di atas objek yang
mengais hadiah dengan penderitaan, Transaksi, ada penjual dan ada pembeli. Saat
proses live penayangan, mereka yang memiliki uang akan membayar, penonton lain
yang hanya sekedar mellihat juga turut terhibur. Apakah kondisi ini baik-baik
saja?
Tentu
saja tidak. Ada sebuah skema berpikir yang harus diluruskan. Penderitaan yang
dipertontonkan dengan kemasan hiburan seperti ini menjadi bagian dari bullying.
Bukankah sudah lama kita berkomitmen untuk melawan kasus bullying di sekitar
kita? Lantas kenapa masih menikmati hiburan kesedihan atau pesakitan yang
diperjualbelikan seperti ini?
2.
Komodifikasi Kemiskinan
Pengamatan
yang telah banyak dilakukan membuahkan kesimpulan pola bahwa kasus (maaf)
mengemis di media sosial seperti YouTube, Instagram, dan lain sebagainya sering
melibatkan objek rawan seperti anak hingga lansia. Jika di dunia nyata mereka
menggunakan orang disabiltas. Di dunia maya mereka melibatkan kalangan yang
rentan. Keterlibatan mereka dalam konten sangat berpeluang menjadi eksploitasi
kemiskinan. Setelah dianggap memiliki pasar, akan ada ide komersiil yang
memanfaatkan untuk memperjual belikan “kamu cari saya beri, kamu jual saya
beli”.
Beriringan
dengan adanya kasus eksploitasi ada upaya komodifikasi. Setelah dianggap laku
di pasaran, keterlibatan objek tertentu yang dianggap memiliki nilai simpati
yang lebih bagi penonton tentunya menjadi satu komoditas yang harus
dipertahankan. Di sinilah seperti yang disebut oleh pakar komunikasi digital
Universitas Indonesia Firman Kurniawan dengan komodifikasi. Komodifikasi
dimaksud sebagai upaya untuk menjual sesuatu yang bukan komoditas tapi
dijadikan sebagai komoditas. Kemiskinan (mengemis dan meminta hadiah) menjadi
sebuah produk yang kemudian diperjual belikan dalam suatu penayangan.
Sebuah
hiburan, dengan objek penderita dari kalangan yang rentan, syarat dengan
bullying, dan eksploitasi seolah menjadi bumbu yang sempurna untuk menyebut
konten-konten seperti ini sebagai komodifikasi kemiskinan.
3.
Kerangka Kreativitas?
Barangkali
bagi sebagian pihak akan menyebut serta menyetujui bahwa ini adalah bagian dari
kreativitas para pencipta konten (content creator). Tentunya benar juga, di
mana para pencipta konten di awal tahapan mereka merancang satu gagasan untuk
menarik penonton.
Mengemas
ide semenarik mungkin, selanjutnya didukung dengan kebijakan beberapa platform
yang memberikan feedback berupa keuntungan finansial dalam setiap penayangan.
Perkara ide kreatif mungkin sampai di titik ini. Namun perihal substansi
konten, kita harus menimbang beberapa norma dan aturan.
Mungkin
dalam kebijakan komunitas di platform tertentu belum menuangkan aturan secara
rinci perihal bentuk pelanggaran semisal bullying yang dimaksudkan di atas.
Namun dalam filter berupa etika harusnya tetap diprioritaskan. Apakah suatu
konten bersifat etis atau tidak etis, layak atau tidak layak, minimal harus
menjadi patokan sebelum disebarluaskan.
Sejatinya
“setiap orang menjadi guru dan setiap rumah menjadi sekolah”*, bukankah kita
harus mengajarkan kebaikan agar generasi kita menjadi baik. Karena Ki Hajar
Dewantara tidak salah memberikan petuah bijaknya untuk kita semua.
